Kedudukan Sejarah Lisan Dalam Penulisan
Sejarah
Tradisi yang berkembang di Indonesia adalah
tradisi lisan. Tradisi yang kuat dan mencengkram dalam kehidupan setiap manusia
Indonesia. Tradisi inilah yang menjadi point plus dalam penulisan sejarah di Indonesia.
Perlu dibedakan pengertian antara tradisi lisan dengan sejarah lisan.Tradisi
lisan adalah cerita rakyat yang diungkapkan melalui lisan dan dikembangkan
secara berurutan juga secara lisan, namun si pelisan bukan penyaksi atau pelaku
peristiwa. Berbeda dengan sejarah lisan yakni si pelisan benar-benar terlibat
atau sebagai penyaksi peristiwa yang terjadi.seejarah lisan ini bisa diterapkan
terutama dalam cakupan tempat yang kecil, yakni cakupan lingkungan.
Sejarah lisan akan membangun sejarah yang lebih
dalam. Peserta didik akan terbawa pada suasana sejarah yang dituturkan oleh si
pelisan tersebut. Dengan cakupan yang kecil pula pemahaman bisa
dioptimalkan.Contohnya konkritnya seperti di lingkungan peserta didik, ada
cerita bersejarah. Cerita itu akan membawa rasa keingintahuan dengan rangsangan
dari pengajar. Cerita yang akan dituturkan akan berdampak psikologis bagi
peserta didik. Peserta didik terbawa untuk tahu dan mengerti dengan sejarah
lingkungannya sendiri. Sehingga transfer budaya dari golongna tua terhadap
golongan muda tidak akan terputus. Hal itu akan berdampak lebih pada
psikologis. Dampaknya para generasi muda tidak akan berorientasi pada kota.
Orientasi pada kota sangatlah membebankan salah satu pihak saja. Lebih dari itu
pembanguan yang digalakkan tidak akan cukup merata.Serta perlu digaris bawahi.
Sejarah lingkungan sama seperti sejarah lokal dalam memiliki cakupan yang lebih
sempit. Lingkungan yang dijadikan tempat tinggal dengan pengertian dan
partisipasi dari peserta didik. Melalui pengetahuan awal diharapkan sejarah
lebih menarik.Melalui itu mereka bisa menulis dari hasil cerita orang lain dan
menceritakan hal tersebut di dalam kelas. Peserta didik yang masuk ke dalam
kelas sudah membawa bekal untuk disampaikan. Peserta didik juga membuat cerita
pribadai, yang sering disebut sebagai mengarang. Mengarang di sini bukan dalam
bentuk karangn imajinatif, namun lebih pada karangan yang telah dilakukan atau
telah dirasakan. Karangan yang berdasrkan fakta-fakta. Lebih singkatnya
karangan tengan diri sendiri. Mengarang “sejarah” dengan menggunakan daya ingat
sangatlah membantu untuk apresiasi akan sesuatu hal.
Sejarah lisan secara sederhana dapat dipahami
sebagai peristiwa-peristiwa sejarah terpilih yang terdapat di dalam ingatan
hampir setiap individu manusia. Dengan pemahaman seperti itu, menjadi jelas ada
di mana sebenarnya sejarah lisan. Sejarah lisan ada di dalam memori manusia.
Untuk itu, agar sejarah lisan dapat digunakan sebagai sumber sejarah, perlu ada
upaya untuk mengeluarkannya dari memori individu manusia. Tanpa itu, bisa jadi
sejarah lisan tidak akan pernah bisa digunakan sebagai sumber sejarah dan akan
menjadi hak milik abadi sang pemilik kisah. Dalam kaitannya dengan upaya untuk
mengeluarkan sejarah lisan dari memori individu manusia maka akan sampailah
pada pembicaraan tentang cara, teknik, atau metode untuk mengeluarkannya. Cara,
teknik, atau metode untuk mengeluarkan sejarah lisan ini untuk mudahnya bisa
disebut sebagai metode sejarah lisan.
Tahap Persiapan Ada delapan langkah kegiatan
yang perlu mendapat prioritas perhatian. Kedelapan langkah kegiatan tersebut,
meliputi, perumusan topik penelitian, penetapan judul penelitian, pembuatan
kerangka penelitian, pembuatan kendali wawancara, inventarisasi dan seleksi
pengkisah, kontak dengan pengkisah, pengenalan lapangan, dan persiapan alat
rekam. Urut-urutan langkah kegiatan yang akan diuraikan di bawah ini tidaklah
bersifat kaku, bisa jadi karena pertimbangan situasi dan kondisi, langkah
kegiatan yang satu lebih didahulukan dibanding langkah kegiatan lainnya.
Perumusan Topik Penelitian Pada dasarnya
sebuah kegiatan penggalian sejarah lisan baru dapat dilakukan dengan baik
manakala telah diperoleh kejelasan tentang topik yang akan diteliti. Untuk
menentukan topik penelitian, setidaknya ada empat pertimbangan yang perlu
dilakukan, yaitu :
1.
Manageable topic, topik yang diteliti ada dalam jangkauan kemampuan
intelektual, finansial, dan ketersediaan waktu
2.
Obtainable topic, pengkisah yang diperlukan untuk menggali sejarah lisan
yang sesuai dengan topik yang telah dirumuskan masih hidup dan relatif mudah
untuk dijangkau.
3.
Significance of topic, topik cukup penting untuk diteliti. Pengukuran
kepentingan topik dalam penggalian sejarah lisan dapat pula dilihat dari nilai
rekonstruksi yang akan dihasilkan. Bila sebuah rekonstruksi sejarah melalui
sejarah lisan akan mampu mencerahkan pemahaman sejarah masyarakat tentang suatu
peristiwa yang tengah menjadi bahan pembicaraan atau masih gelap alurnya bisa
pula kiranya dikedepankan untuk diberi prioritas.
4.
Interested topic, topik menarik untuk diteliti. Pertimbangan keempat
dalam memilih topik ini benar-benar diarahkan kepada ketertarikan peneliti
terhadap topik yang dipilihnya.
Pemahaman Masalah Memahami masalah yang akan diteliti sebagaimana
tercermin dalam judul penelitian perlu dilakukan agar sebelum penggalian
sejarah lisan dilakukan, penggali sejarah lisan telah memiliki bekal awal
tentang peristiwa atau materi yang akan ditelitinya. Upaya memahami masalah dapat
dilakukan melalui pendekatan konvensional dan pendekatan non konvensional.
Pendekatan konvensional dilakukan dengan melacaknya terlebih dahulu melalui
sumber-sumber tertulis, baik yang ada di lembaga-lembaga kearsipan maupun
perpustakaan-perpustakaan. Pendekatan non konvensional dilakukan dengan melacak
materi atau peristiwa yang akan diteliti melalui internet. Dari perumusan
masalah akan dihasilkan kerangka penelitian yang penting untuk dibuat karena
dapat menjadi petunjuk tentang informasi sejarah lisan yang diperlukan.
Pembuatan Kendali Wawancara memiliki fungsi sebagai alat pancing untuk
memperoleh informasi sejarah lisan sebagaimana yang diinginkan. Tampilan kendali wawancara sebagai
penjabaran lebih lanjut dari kerangka sementara tidak lain berupa daftar
pertanyaan. Penting kiranya untuk diperhatikan, pertanyaan-pertanyaan yang
dimuat dalam kendali wawancara haruslah dibuat sesederhana mungkin tetapi jelas
dan mudah dipahami. Terlebih bila pertanyaan-pertanyaan tersebut ditujukan kepada
para pemilik sejarah lisan yang berasal dari komunitas masyarakat yang
sederhana dan kurang atau bahkan tidak terdidik. Untuk itu semua, sudah
selayaknya bila pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dimulai dengan 5 W
(who,what,when, where, why) dan 1 H (how).
Inventarisasi dan Seleksi Pengkisah. Gambaran awal tentang keberadaan
para pemilik sejarah lisan atau pengkisah sebenarnya sudah harus diperoleh
sejak topik dirumuskan. Oleh karenanya, pada langkah kegiatan ini,
inventarisasi dipahami sebagai proses penyusunan daftar pengkisah sesuai dengan
derajat perannya dalam peristiwa sejarah serta perluasan daftar pengkisah yang
akan digali sejarah lisannya. Akan menjadi baik kiranya bila daftar pengkisah
ini dibuat sebanyak mungkin. Adapun yang dimaksud pengkisah (interviewee)
adalah saksi hidup yang menceriterakan kesaksiannya melalui wawancara yang
direkam dalam alat rekam. Kesaksian lisan dari tangan pertama, bisa berupa
peristiwa tertentu yang dialami sendiri, dirasakan sendiri, didengar sendiri, dilihat
sendiri, atau dipikirkan sendiri secara langsung oleh pengkisah. Setelah
inventarisasi dilakukan, maka dilakukanlah seleksi pengkisah. Seleksi pengkisah
yang paling sederhana menyangkut dua hal, yaitu usia dan kesehatan mental.
Kemudian Kontak dengan Pengkisah , Pengenalan Lapangan, dimaksudkan sebagai
upaya mengenal medan tempat wawancara akan dilakukan. Pengenalan Alat Rekam Fungsi alat rekam bagi
seorang penggali sejarah lisan dalam kegiatan penggalian sejarah lisan
merupakan suatu conditio sine qua non. .
Tahapan pelaksanaan kegiatan penggalian sejarah lisan juga dapat dibagi
lagi dalam beberapa langkah kegiatan yang terdiri dari lima tahap, meliputi
pembuatan label wawancara, pembukaan wawancara, menjaga suasana wawancara,
membuat catatan, dan mengakhiri wawancara.
Pembuatan indeks dan transkripsi dalam metode
sejarah lisan dapat dikatakan sebagai tahapan akhir proses penggalian sejarah
lisan. Tujuananya untuk mempermudah penggunaan hasil penggalian sejarah lisan
sebagai sumber sejarah. pembuatan transkripsi dimaksudkan untuk mempermudah
pengolahan hasil penggalian sejarah lisan. Dengan melakukan transkripsi, yang
inti kegiatannya berupa pengalihan bentuk lisan ke bentuk tulisan, proses
pengolahan sejarah lisan sebagai sumber sejarah diharapkan menjadi lebih mudah
dan lebih cepat.
Pembuatan Indek Sejalan dengan fungsinya,
pembuatan indeks haruslah diupayakan mampu memberi gambaran yang jelas dan utuh
tentang isi kaset hasil penggalian sejarah lisan. Untuk itu, perlu ada
penguraian yang cermat dan cerdas tentang isi hasil penggalian sejarah lisan ke
dalam bagian-bagian tertentu, Secara teknis, setidaknya ada dua alternatif
pilihan dalam pembuatan indeks, yaitu : • Pembuatan indeks dengan berdasarkan
pada pembagian waktu atau ke dalam satuan menit dan jam.• Pembuatan indeks
berdasarkan angka yang terdapat pada tape (tape counter).
Pembuatan Transkripsi Kaset hasil penggalian
sejarah lisan pada dasarnya sudah memadai untuk digunakan sebagai sumber
sejarah. Namun, manakala berbicara tentang kemudahan untuk mengolahnya maka
pembuatan transkripsi mau tidak mau harus dikedepankan sebagai jawabannya.
Sejarah lisan tanpa transkripsi sering dikatakan sebagai kelemahan yang khas
dari sejarah lisan, karena dipandang tidak praktis dalam pemanfaatannya. Dengan
demikian, pengalihan dari bentuk lisan ke bentuk tulisan tujuan utamanya adalah
untuk mendapatkan kejernihan (clarity) dan untuk menggampangkan (readability).
Kejernihan yang diharapkan dari pembuatan transkripsi tidak lain adalah
kejelasan tentang apa yang terekam di dalam kaset. Seringkali karena suara
pengkisah yang tidak jelas, kondisi alat rekam yang kurang baik, tempat
wawancara yang bising, atau munculnya suara-suara yang tidak terduga selama
wawancara mengakibatkan hasil wawancara kurang begitu jelas terdengar. Dalam
kondisi demikian, biasanya hanya pewawancaralah yang lebih bisa mengenali
dengan relatif lebih baik apa yang disampaikan oleh pengkisah, termasuk segala
bunyi yang ada di dalam hasil rekaman, dan sebaliknya hampir sulit bagi orang
lain untuk dapat menangkapnya dengan jelas. Pembuatan transkripsi hasil
penggalian sejarah lisan juga diharapkan dapat menggampangkan proses
pengolahan..