Jumat, 19 Desember 2014

Kedudukan Sejarah Lisan Dalam Penulisan Sejarah

Kedudukan Sejarah Lisan Dalam Penulisan Sejarah


Tradisi yang berkembang di Indonesia adalah tradisi lisan. Tradisi yang kuat dan mencengkram dalam kehidupan setiap manusia Indonesia. Tradisi inilah yang menjadi point plus dalam penulisan sejarah di Indonesia. Perlu dibedakan pengertian antara tradisi lisan dengan sejarah lisan.Tradisi lisan adalah cerita rakyat yang diungkapkan melalui lisan dan dikembangkan secara berurutan juga secara lisan, namun si pelisan bukan penyaksi atau pelaku peristiwa. Berbeda dengan sejarah lisan yakni si pelisan benar-benar terlibat atau sebagai penyaksi peristiwa yang terjadi.seejarah lisan ini bisa diterapkan terutama dalam cakupan tempat yang kecil, yakni cakupan lingkungan.
Sejarah lisan akan membangun sejarah yang lebih dalam. Peserta didik akan terbawa pada suasana sejarah yang dituturkan oleh si pelisan tersebut. Dengan cakupan yang kecil pula pemahaman bisa dioptimalkan.Contohnya konkritnya seperti di lingkungan peserta didik, ada cerita bersejarah. Cerita itu akan membawa rasa keingintahuan dengan rangsangan dari pengajar. Cerita yang akan dituturkan akan berdampak psikologis bagi peserta didik. Peserta didik terbawa untuk tahu dan mengerti dengan sejarah lingkungannya sendiri. Sehingga transfer budaya dari golongna tua terhadap golongan muda tidak akan terputus. Hal itu akan berdampak lebih pada psikologis. Dampaknya para generasi muda tidak akan berorientasi pada kota. Orientasi pada kota sangatlah membebankan salah satu pihak saja. Lebih dari itu pembanguan yang digalakkan tidak akan cukup merata.Serta perlu digaris bawahi. Sejarah lingkungan sama seperti sejarah lokal dalam memiliki cakupan yang lebih sempit. Lingkungan yang dijadikan tempat tinggal dengan pengertian dan partisipasi dari peserta didik. Melalui pengetahuan awal diharapkan sejarah lebih menarik.Melalui itu mereka bisa menulis dari hasil cerita orang lain dan menceritakan hal tersebut di dalam kelas. Peserta didik yang masuk ke dalam kelas sudah membawa bekal untuk disampaikan. Peserta didik juga membuat cerita pribadai, yang sering disebut sebagai mengarang. Mengarang di sini bukan dalam bentuk karangn imajinatif, namun lebih pada karangan yang telah dilakukan atau telah dirasakan. Karangan yang berdasrkan fakta-fakta. Lebih singkatnya karangan tengan diri sendiri. Mengarang “sejarah” dengan menggunakan daya ingat sangatlah membantu untuk apresiasi akan sesuatu hal.
Sejarah lisan secara sederhana dapat dipahami sebagai peristiwa-peristiwa sejarah terpilih yang terdapat di dalam ingatan hampir setiap individu manusia. Dengan pemahaman seperti itu, menjadi jelas ada di mana sebenarnya sejarah lisan. Sejarah lisan ada di dalam memori manusia. Untuk itu, agar sejarah lisan dapat digunakan sebagai sumber sejarah, perlu ada upaya untuk mengeluarkannya dari memori individu manusia. Tanpa itu, bisa jadi sejarah lisan tidak akan pernah bisa digunakan sebagai sumber sejarah dan akan menjadi hak milik abadi sang pemilik kisah. Dalam kaitannya dengan upaya untuk mengeluarkan sejarah lisan dari memori individu manusia maka akan sampailah pada pembicaraan tentang cara, teknik, atau metode untuk mengeluarkannya. Cara, teknik, atau metode untuk mengeluarkan sejarah lisan ini untuk mudahnya bisa disebut sebagai metode sejarah lisan.
Tahap Persiapan Ada delapan langkah kegiatan yang perlu mendapat prioritas perhatian. Kedelapan langkah kegiatan tersebut, meliputi, perumusan topik penelitian, penetapan judul penelitian, pembuatan kerangka penelitian, pembuatan kendali wawancara, inventarisasi dan seleksi pengkisah, kontak dengan pengkisah, pengenalan lapangan, dan persiapan alat rekam. Urut-urutan langkah kegiatan yang akan diuraikan di bawah ini tidaklah bersifat kaku, bisa jadi karena pertimbangan situasi dan kondisi, langkah kegiatan yang satu lebih didahulukan dibanding langkah kegiatan lainnya.
Perumusan Topik Penelitian Pada dasarnya sebuah kegiatan penggalian sejarah lisan baru dapat dilakukan dengan baik manakala telah diperoleh kejelasan tentang topik yang akan diteliti. Untuk menentukan topik penelitian, setidaknya ada empat pertimbangan yang perlu dilakukan, yaitu :
1.      Manageable topic, topik yang diteliti ada dalam jangkauan kemampuan intelektual, finansial, dan ketersediaan waktu
2.      Obtainable topic, pengkisah yang diperlukan untuk menggali sejarah lisan yang sesuai dengan topik yang telah dirumuskan masih hidup dan relatif mudah untuk dijangkau.
3.      Significance of topic, topik cukup penting untuk diteliti. Pengukuran kepentingan topik dalam penggalian sejarah lisan dapat pula dilihat dari nilai rekonstruksi yang akan dihasilkan. Bila sebuah rekonstruksi sejarah melalui sejarah lisan akan mampu mencerahkan pemahaman sejarah masyarakat tentang suatu peristiwa yang tengah menjadi bahan pembicaraan atau masih gelap alurnya bisa pula kiranya dikedepankan untuk diberi prioritas.
4.      Interested topic, topik menarik untuk diteliti. Pertimbangan keempat dalam memilih topik ini benar-benar diarahkan kepada ketertarikan peneliti terhadap topik yang dipilihnya.
            Pemahaman Masalah Memahami masalah yang akan diteliti sebagaimana tercermin dalam judul penelitian perlu dilakukan agar sebelum penggalian sejarah lisan dilakukan, penggali sejarah lisan telah memiliki bekal awal tentang peristiwa atau materi yang akan ditelitinya. Upaya memahami masalah dapat dilakukan melalui pendekatan konvensional dan pendekatan non konvensional. Pendekatan konvensional dilakukan dengan melacaknya terlebih dahulu melalui sumber-sumber tertulis, baik yang ada di lembaga-lembaga kearsipan maupun perpustakaan-perpustakaan. Pendekatan non konvensional dilakukan dengan melacak materi atau peristiwa yang akan diteliti melalui internet. Dari perumusan masalah akan dihasilkan kerangka penelitian yang penting untuk dibuat karena dapat menjadi petunjuk tentang informasi sejarah lisan yang diperlukan.
            Pembuatan Kendali Wawancara memiliki fungsi sebagai alat pancing untuk memperoleh informasi sejarah lisan sebagaimana yang diinginkan.    Tampilan kendali wawancara sebagai penjabaran lebih lanjut dari kerangka sementara tidak lain berupa daftar pertanyaan. Penting kiranya untuk diperhatikan, pertanyaan-pertanyaan yang dimuat dalam kendali wawancara haruslah dibuat sesederhana mungkin tetapi jelas dan mudah dipahami. Terlebih bila pertanyaan-pertanyaan tersebut ditujukan kepada para pemilik sejarah lisan yang berasal dari komunitas masyarakat yang sederhana dan kurang atau bahkan tidak terdidik. Untuk itu semua, sudah selayaknya bila pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dimulai dengan 5 W (who,what,when, where, why) dan 1 H (how).
            Inventarisasi dan Seleksi Pengkisah. Gambaran awal tentang keberadaan para pemilik sejarah lisan atau pengkisah sebenarnya sudah harus diperoleh sejak topik dirumuskan. Oleh karenanya, pada langkah kegiatan ini, inventarisasi dipahami sebagai proses penyusunan daftar pengkisah sesuai dengan derajat perannya dalam peristiwa sejarah serta perluasan daftar pengkisah yang akan digali sejarah lisannya. Akan menjadi baik kiranya bila daftar pengkisah ini dibuat sebanyak mungkin. Adapun yang dimaksud pengkisah (interviewee) adalah saksi hidup yang menceriterakan kesaksiannya melalui wawancara yang direkam dalam alat rekam. Kesaksian lisan dari tangan pertama, bisa berupa peristiwa tertentu yang dialami sendiri, dirasakan sendiri, didengar sendiri, dilihat sendiri, atau dipikirkan sendiri secara langsung oleh pengkisah. Setelah inventarisasi dilakukan, maka dilakukanlah seleksi pengkisah. Seleksi pengkisah yang paling sederhana menyangkut dua hal, yaitu usia dan kesehatan mental. Kemudian Kontak dengan Pengkisah , Pengenalan Lapangan, dimaksudkan sebagai upaya mengenal medan tempat wawancara akan dilakukan.  Pengenalan Alat Rekam Fungsi alat rekam bagi seorang penggali sejarah lisan dalam kegiatan penggalian sejarah lisan merupakan suatu conditio sine qua non. .
            Tahapan pelaksanaan kegiatan penggalian sejarah lisan juga dapat dibagi lagi dalam beberapa langkah kegiatan yang terdiri dari lima tahap, meliputi pembuatan label wawancara, pembukaan wawancara, menjaga suasana wawancara, membuat catatan, dan mengakhiri wawancara.
Pembuatan indeks dan transkripsi dalam metode sejarah lisan dapat dikatakan sebagai tahapan akhir proses penggalian sejarah lisan. Tujuananya untuk mempermudah penggunaan hasil penggalian sejarah lisan sebagai sumber sejarah. pembuatan transkripsi dimaksudkan untuk mempermudah pengolahan hasil penggalian sejarah lisan. Dengan melakukan transkripsi, yang inti kegiatannya berupa pengalihan bentuk lisan ke bentuk tulisan, proses pengolahan sejarah lisan sebagai sumber sejarah diharapkan menjadi lebih mudah dan lebih cepat.
Pembuatan Indek Sejalan dengan fungsinya, pembuatan indeks haruslah diupayakan mampu memberi gambaran yang jelas dan utuh tentang isi kaset hasil penggalian sejarah lisan. Untuk itu, perlu ada penguraian yang cermat dan cerdas tentang isi hasil penggalian sejarah lisan ke dalam bagian-bagian tertentu, Secara teknis, setidaknya ada dua alternatif pilihan dalam pembuatan indeks, yaitu : • Pembuatan indeks dengan berdasarkan pada pembagian waktu atau ke dalam satuan menit dan jam.• Pembuatan indeks berdasarkan angka yang terdapat pada tape (tape counter).

Pembuatan Transkripsi Kaset hasil penggalian sejarah lisan pada dasarnya sudah memadai untuk digunakan sebagai sumber sejarah. Namun, manakala berbicara tentang kemudahan untuk mengolahnya maka pembuatan transkripsi mau tidak mau harus dikedepankan sebagai jawabannya. Sejarah lisan tanpa transkripsi sering dikatakan sebagai kelemahan yang khas dari sejarah lisan, karena dipandang tidak praktis dalam pemanfaatannya. Dengan demikian, pengalihan dari bentuk lisan ke bentuk tulisan tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan kejernihan (clarity) dan untuk menggampangkan (readability). Kejernihan yang diharapkan dari pembuatan transkripsi tidak lain adalah kejelasan tentang apa yang terekam di dalam kaset. Seringkali karena suara pengkisah yang tidak jelas, kondisi alat rekam yang kurang baik, tempat wawancara yang bising, atau munculnya suara-suara yang tidak terduga selama wawancara mengakibatkan hasil wawancara kurang begitu jelas terdengar. Dalam kondisi demikian, biasanya hanya pewawancaralah yang lebih bisa mengenali dengan relatif lebih baik apa yang disampaikan oleh pengkisah, termasuk segala bunyi yang ada di dalam hasil rekaman, dan sebaliknya hampir sulit bagi orang lain untuk dapat menangkapnya dengan jelas. Pembuatan transkripsi hasil penggalian sejarah lisan juga diharapkan dapat menggampangkan proses pengolahan..